Saturday, February 20, 2016

sosiologi politik



Pertanyaan:
1.      Jelaskan sejumlah kelemahan sistem politik Indonesia?
2.      Sistem politik seperti apa yang ideal dan efektif untuk Indonesia?

Jawaban:
1.      Kelemahan system politik Indonesia
System politik yang digunakan di Indonesia adalah system pancasila. Sistem Politik Pancasila adalah suatu sistem politik yang kedaulatan penuhnya berada ditangan rakyat dengan sedikit campur tangan legislatif.  Sistem politik pancasila adalah system yang menerapkan sila-sila pancasila untuk menjalankan kehidupan bernegara.
Didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea paling akhir atau ke empat sudah terang dijelaskan bahwasanya system politik Indonesia berlandaskan pada lima bunyi Pancasila. Oleh karenanya system politik Indonesia kerap dimaksud dengan system politik Pancasila.
Namun dari system politik pancasila masih mempunyai kekurangan atau kelemahan. Antara lain:
1)      Terjadinya kebebasan tak bertanggung jawab dari segenap oknum masyarakat dalam berpolitik baik dalam cakupan masyarakat ataupun pemerintah.
2)      Sila ke empat yang berbunyi “ kerakyatan yang dipimpin oleh khikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Pada sila tersebut menegaskan bahwa dalam menetapkan kebijakan harus melalui proses musyawarah. Pada praktiknya wakil rakyat atau DPR apabila mengalami kebuntuan dalam menetapkan kebijakan solusinya adalah voting. Sedangkan voting dan musyawarah adalah dua hal yang sangat berbeda. Voting adalah penetapan keputusan berdasarkan hasil suara terbanyak, sedangkan musyawarah untuk mendapatkan mufakat.
3)      Pada dasarnya kedaulatan rakyat lebih besar. Namun pada praktiknya wakil rakyat atau DPR yang mempunyai kedaulatan. DPR yang merancang dan menetapkan Undang-undang.
4)      Salah satu fungsi dari DPR yaitu fungsi legislasi tidak berjalan sesuai dengan fungsinya. Fungsi legislasi yaitu merancang dan mngesahkan Undang-undang. Kenyataannya dalam rangka mensejahterakan rakyat Indonesia DPR belum mampu menghasilkan Undang-undang yang berkualitas.
5)      Presiden merupakan kepala Negara yang mengatur jalannya kepemerintahan. Dan keputusan vital Negara presiden yang menetapkannya. Namun presiden berawal dari anggota partai politik yang kemudian di ajukan menjadi capres. Ketika telah terpilih menjadi presiden, presiden tetap membawa kepentingan dari partai politik. Presiden bukanlah orang netral yang benar-benar mempunyai visi dan misi untuk membawa perubahan.
6)      Belum ada batasan dalam berpolitik secara organisasi seperti maraknya partai politik di Indonesia sehingga menimbulkan kebingungan bagi masyarakat dalam pemilihan umum. Di samping itu kerap terjadi  perselisihan antar kelompok politik dan perebutan kekuasaan.


2.      System politik yang ideal untuk Indonesia

Demokrasi Pancasila - Pancasila sebagai dasar falsafah negara, merupakan dasar pengembangan dan pelaksanaan demokrasi yang berjalan di Indonesia. Dalam Pancasila terkandung prinsip-prinsip demokrasi bukan prinsip-prinsip kediktatoran. Dengan demikian, sistem politik yang sesuai dengan situasi dan kondisi Negara Indonesia adalah sistem politik demokrasi Pancasila.
Demokrasi yang berlaku di Indonesia adalah demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah/ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Oleh karena itu, demokrasi yang dianut di Indonesia disebut demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang dihayati oleh bangsa dan negara Indonesia yang dijiwai dan diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
pada hakikatnya demokrasi Pancasila merupakan sarana atau alat bagi bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan negara. Tujuan negara tersebut sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Inti dari demokrasi Pancasila adalah paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya.
Ciri khas demokrasi Pancasila adalah:

1)      Demokrasi Pancasila bersifat kekeluargaan dan kegotongroyongan yang bernapaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2)      Demokrasi Pancasila harus menghargai hak-hak asasi manusia serta menjamin adanya hak-hak minoritas.
3)      Pengambilan keputusan dalam demokrasi Pancasila sedapat mungkin didasarkan atas musyawarah untuk mufakat.
4)      Demokrasi Pancasila harus bersendikan hukum, rakyat sebagai subjek demokrasi berhak untuk ikut secara efektif untuk menentukan kehidupan bangsa dan negara.


Dalam sistem demokrasi Pancasila, ada dua asas yaitu:

1.      Asas kerakyatan, yaitu asas kesadaran akan cinta kepada rakyat, manunggal dengan nasib dan cita-cita rakyat, serta berjiwa kerakyatan atau menghayati kesadaran senasib dan secita-cita dengan rakyat.
2.      Asas musyawarah untuk mufakat, yaitu asas yang memperhatikan aspirasi dan kehendak seluruh rakyat yang jumlahnya banyak dan melalui forum permusyawaratan dalam rangka pembahasan untuk menyatukan pendapat bersama serta mencapai kesepakatan bersama yang dijiwai oleh kasih sayang, pengorbanan demi tercapainya kebahagiaan bersama.
Apabila makna dari demokrasi pancasila diterapkan dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan tujuan bangsa, demokrasi pancasila dapat mengatai segala kesulitan yang sedang dihadapi bangsa ini

kewarganegaraan




PANCASILA
    
Abdul Rahman Hamid, S.H, M.H

Oleh:
Danti Kartika B  intari                             4825xxxxxx
Eva Safitri Arfan                                      4825xxxxxx
Ika Septia Ningrum                                  4825xxxxxx


Sosiologi Pembangunan kelas B




Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
2014


1.      PEMOHON

Nama                                       : DIDIK SUPRIJADI
Tempat, tanggal lahir              : Surabaya, 03 Desember 1972
Warga negara                          : Indonesia
Pekerjaan                                 : Swasta
Alamat                                                : Jalan Pandegiling II Nomor 7, RT 002, RW 007,
Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegalsari,
Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
Dalam hal ini, bertindak atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Petugas
Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML), jabatan: Ketua Umum Dewan Pimpinan
Pusat Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik (AP2ML) Indonesia;
2.      LATAR BELAKANG PENGAJUAN
Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

a.       kebijakan upah murah berakibat pada hilangnya keamanan kerja (job security) bagi buruh/pekerja Indonesia, karena sebagian besar buruh/pekerja tidak akan lagi menjadi buruh/pekerja tetap, tetapi menjadi buruh/pekerja kontrak yang akan berlangsung seumur hidupnya. jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

b.      status sebagai buruh/pekerja kontrak mengakibatkan hilangnya hak-hak, tunjangan tunjangan kerja, jaminan-jaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh buruh/pekerja tetap.

c.       Dalam hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaa n kepada perusahaan lain sebagaimana juga diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003((outsourcing)), buruh/pekerja dilihat semata-mata sebagai komoditas atau barang dagangan, di sebuah pasar tenaga kerja dan ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, "Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan". Dan Pasal 28D ayat (2) "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan Iayak dalam hubungan kerja".

d.      Buruh/pekerja ditempatkan sebagai factor produksi semata, dengan begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi. Dengan demikian komponen upah sebagai salah satu dari biaya-biaya (cost) bisa tetap ditekan seminimal mungkin. Inilah yang akan terjadi dengan dilegalkannya sistem kerja "pemborongan pekerjaan" (outsourcing), dan ini bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan".

e.       Sistem outsourcing, konstruksi hukumnya yaitu adanya suatu perusahaan jasa pekerja merekrut calon pekerja untuk ditempatkan diperusahaan pengguna Untuk 100 orang misalnya Rp. 10.000.000, kemudian perusahaan penyedia jasa pekerja akan mengambil sekian persen, sisanya dibayarkan kepada pekerja yang bekerja di perusahaan pengguna. Jadi konstruksi hukum semacam ini merupakan perbudakan, karena pekerja-pekerja tersebut dijual kepada pengguna dengan jumlah uang.

f.       Outsourcing di dalam Pasal 64 menunjukkan adanya dua macam outsourcing, yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong dan outsourcing mengenai pekerjanya yang dilakukan oleh perusahaan jasa pekerja. Bahwa kalau dikaitkan dengan konstitusi, jelas hal ini memaksakan adanya hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja yaitu adanya perintah, pekerjaan dan upah.

g.      Bahwa perbudakan terhadap outsourcing mutlak, karena di sini perusahaan penyedia jasa pekerja pada dasarnya menjual manusia kepada user. Dengan sejumlah uang akan mendapatkan keuntungan dengan menjual manusia.

h.      Bahwa Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang. Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena manusia yang harus dilindungi adalah manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya adalah untuk memberikan kehidupan yang selayaknya tetapi ketika itu pekerja hanya sebagai bagian produksi dan terutama dengan kontrak-kontrak yang dibuat, maka hanya sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga perlindungan sebagai manusia menjadi lemah.

i.        Kiranya Mahkamah berkenan melaksanakan haknya untuk melakukan pengujian Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

j.        Bahwa karena Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ada kaitannya dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka dengan sendirinya Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

3.      SAKSI-SAKSI DARI PEMOHON

a.       Moh. Fadlil Alwi
·         Bahwa pekerjaan saksi sebagai pembaca meteran yang dilakukan secara terus-menerus, dilakukan dalam waktu tertentu dan berkesinambungan;
·         Bahwa saksi mantan pegawai PLN sebagai mengelola pembaca meter dan belum pernah menjadi karyawan outsourcing;
·         Bahwa pegawai pembaca meteran dulunya memakai sistim kontrak dengan batas tertentu dari koperasi yang kemudian dilimpahkan ke pemborong lain.


b.      Moh. Yunus Budi Santoso
·         Bahwa saksi sebagai karyawan outsourcing;
·         Bahwa saksi pada tahun 2000 pekerjaannya sebagai pembaca meteran di bawah koperasi PLN;
    Bahwa saksi dari tahun 2004 sampai tahun 2007 bekerja sebagai tenaga kontrak pembaca meteran dan sudah tiga kali pindah ke perusahaan lain dengan cara direkrut dan tanpa SK dengan gaji tetap, karena terjadi konflik, dinonaktifkan dengan tidak jelas dan tidak ada penjelasan dari manajemen;
      Bahwa saksi dari tahun 2007 sampai tahun 2009 telah pindah pekerjaan ke perusahaan lainnya dengan gaji turun;
      Bahwa UMR di Bangkalan Madura Rp. 850.000,-/bulan;
      Bahwa saksi mendapat gaji total Rp 1.300.000,00,- sedangkan gaji anggota lainnya bervariasi ada yang mendapatkan Rp. 625.000,- sampai dengan Rp. 975.000,- tergantung volume pekerjaannya;
      Bahwa saksi pada tahun 2004-2007 bekerja di PT. Data Energi Infomedia, tahun 2007-2009 bekerja di PT. Bukit Alam Barisani dan yang terakhir bekerja di PT. Berkah Abadi dengan gaji turun alasannya karena perusahaan tersebut mempunyai manajemen sendiri;
      Bahwa kalau bekerja melebihi tiga tahun akan jadi karyawan tetap


4.      PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Menyatakan:

1)      Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian:
Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

2)      Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

3)      Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

4)      Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;


5.      PERTIMBANGAN HUKUM

1)      Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah menguji Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279, selanjutnya disebut UU 13/2003), terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945),

2)      Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo dan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon.

Kewenangan Mahkamah

3)      Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

4)      Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah menguji Undang-Undang in casu Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003 terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon

5)      Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
6)   Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal51 ayat (1) UU MK harus  memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
7)   Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf (5) dan (6) di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut:
8)   Menimbang bahwa Pemohon adalah Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML) Provinsi Jawa Timur, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dan didirikan atas dasar kepedulian untuk memberikan perlindungan dan penegakan keadilan, hukum, dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja. Dalam hal ini diwakili oleh Ketua Umum AP2ML, sehingga Pemohon dikualifikasikan sebagai badan hukum swasta sesuai dengan akte pendirian yang diajukan Pemohon dan kawan-kawan di hadapan Kantor Notaris Bactiar Hasan, SH (bukti P-1 yaitu Fotokopi Pendirian Perkumpulan Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML) Provinsi Jawa Timur Nomor 3 beserta lampirannya);
Menurut Pemohon, penerapan Pasal 59 UU 13/2003 mengenai Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) dan Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003 mengenai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (pemborongan/outsourcing) menyebabkan para pekerja kontrak/outsourcing:
a.       kehilangan jaminan atas kelangsungan kerja bagi buruh/pekerja (kontinuitas pekerjaan);
b.      kehilangan hak-hak dan jaminan kerja yang dinikmati oleh para pekerja tetap;
c.       kehilangan hak-hak yang seharusnya diterima pekerja sesuai dengan masa kerja pegawai karena ketidakjelasan penghitungan masa kerja.
Berdasarkan dalil-dalil permohonan tersebut, menurut Mahkamah, Pemohon adalah badan hukum privat yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh adanya pasal-pasal Undang-Undang yang dimohonkan a quo, yaitu Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003 yaitu hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, dan hak atas kesejahteraan dan kemakmuran dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian terdapat hubungan kausalitas antara kerugian konstitusional Pemohon dengan norma yang diuji, sehingga Pemohon memiliki kedudukan hokum (legal standing) untuk mengajukan pemohonan a quo.

9)   Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;