Saturday, February 20, 2016

Aku bangga menjadi Indonesia



Aku bangga menjadi Indonesia. Indonesia adalah Negara berkembang di Asia Tenggara yang terdiri lebih dari 237 juta jiwa pada tahun 2010. Terdiri dari kurang lebih 13.400 pulau. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah mulai dari kekayaan laut, mineral, tambang dan hutan. Keberagaman sumber daya manusianya yang menyebebkan Indonesia menjadi Negara multikultural. Indonesia mempunyai banyak suku, bahasa, budaya dan adat istiadatnya. Kekayaan Sumber daya alam di Indonesia dipandang sebagai lahan yang cocok untuk menanamkan investasi bagi dunia internasional. Alhasill banyak perusahaan asing berdiri di Indonesia. Sumber daya manusia yang masih rendah membuat Indonesia belum mampu mengelola kekayaan alam di negeri sendiri.
Jauh dari hingar binar ibukota. Saya berasal dari sebuah desa kecil di kabupaten Pemalang Propinsi  Jawa Tengah. Terletak di daerah jalur pantai utara atau biasa disebut pantura. Disekitar rumah saya masih banyak kebun kosong, sawah yang luas, dan udara yang masih segar. Desa saya berjarak 2 desa dari laut utara. Dan dengan waktu tempuh kurang lebih 3 jam ke selatan Gunung Slamet berdiri tegak disana.
Mata pencaharian utama warga desa saya adalah bertani. Ketika musim panen tiba hampir sepanjang jalan digunakan warga desa sebagai tempat menjemur padi. Bagi mereka yang mempunyai sawah luas akan menuai hasil yang berlimpah. Akan tetapi bagi mereka yang tidak mempunyai sawah mereka bekerja sebagai buruh dari petani kaya. Ketika musim tanam tiba, para ibu membantu suami dengan menjadi buruh tanam. Ketika musim panen para bapak menjadi buruh angkut padi kerumah pemilik sawah. Selain mendapatkan upah berupa uang mereka juga mendapat upah berupa padi basah. Selain itu si ibu mengais sisa panen yang tertinggal disawah. Penghasilan mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan anak-anaknya.
Di desa tetangga, sebagian warganya berprofesi sebagai nelayan, selain melaut mereka mempunyai kolam yang berfungsi untuk budidaya ikan bandeng. Selain itu mereka mempunyai perkebunan bunga melati. Dari hasil berkebun mereka dapat membuka lapangan kerjaan baru untuk penduduk sekitar. Bunga melati yang telah dipetik kemudian di sortir, pekerjaan tersebut di kerjakan oleh banyak orang dan mayoritas pekerjanya adalah ibu-ibu. Setelah disortir bunga tersebut di rangkai dengan tali sehingga membentuk sebuah konde dan berbagai hiasan. Hasil tersebut dikirim keluar kota untuk keperluan resepsi pengantin. Hasil dari pekerjaan tersebut memang tidak cukup jika untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi mereka lakukan itu dengan alasan untuk menambah uang jajan anaknya.
Dihari libur pantai penuh dengan keluarga maupun anak-anak. Ada yang asik bermain air atau hanya sekedar untuk duduk-duduk. Pantai menjadi pilihan utama karena selain jarak yang dekat mereka pun tak perlu mengeluarkan biaya yang banyak. Bukan pantai seperti pantai Ancol ataupun Pantai Indah Kapuk, pantai kami biasa saja, tidak ada wahana yang mewah seperti halnya dikota lain. Akan tetapi bagi kami pantai kami adalah suatu hiburan untuk melepaskan setres, cukup hanya dengan memandang deburan ombak. Bukankah kami sangat sederhana?
Akan tetapi, warga desa hanyalah warga desa. Kehidupan di desa tak sepelik kehidupan di kota. Sudah bisa makan saja kami merasa senang. Tidak pusing memikirkan karut marut politik. Bagi kami keputusan pemerintah mau tak mau ya harus dilaksanakan.
Meskipun kami adalah warga desa tetapi kami menginginkan kehidupan yang lebih baik, kami menginginkan pendidikan setinggi mungkin. Karena kami sadar dan mengetahui bahwa pendidikanlah yang dapat merubah kehidupan kami kelak.
Desa kami mempunyai 2 sekolah dasar negeri. Untuk meneruskan ke sekolah menengah pertama kami harus pergi ke desa tetangga yang terdapat smp negeri. Dan untuk meneruskan ke sekolah menengah atas kami harus pergi ke luar kecamatan, dari 14 desa dari satu kecamatan hanya terdapat satu SMA negeri dan kuota penerimaan siswa baru yang terbatas. Setelah lulus sma, banyak diantara kami yang tidak meneruskan ke perguruan tinggi dikarenakan kendala biaya. Di kabupaten memang terdapat universitas ataupun sekolah tinggi, namun karena status kepemilikannya adalah milik swasta mengharuskan kami yang ingin masuk kesana harus merogoh uang lebih banyak. Untuk mendapatkan perguruan tinggi negeri kami harus pergi ke Purwokerto, Semarang ataupun Surakarta. Tidak hanya itu, untuk masuk ke perguruan tinggi negeri kami harus berjuang, mengisi SNMPTN itu jika lolos, jika tidak harus mengikuti SBMPTN, jika tidak masih ada jalan terakhir yaitu mandiri yang artinya tetap mengeluarkan dana yang lebih banyak.
Kendala tersebut mungkin tak menjadi masalah yang besar bagi mereka yang mempunyai orang tua berpenghasilan besar. Akan tetapi menjadi masalah besar bagi mereka yang mempunyai potensi akademik namun tak mempunyai dana yang cukup. Beasiswa memang telah ditawarkan oleh pemerintah, namun tidak ada yang menjamin bahwa mereka akan diterima. Krisis kepercayaan membuat mereka yang bermental lemah menyerah sebelum mencoba kembali setelah gagal bahkan ada yang tidak mencobanya sama sekali.
Sudah seharusnya pemerintah memberi perhatian lebih kepada desa. Sebagai penyokong kota, desa memerlukan motivasi dari pejabat tinggi agar dapat bersaing dengan dunia yang sesungguhnya. Tidak hanya itu, keseriusan pemerintah dalam memberikan pendidikan terhadap anak desa sangat dibutuhkan agar dapat merubah kehidupannya kelak. Bukankah sebagian besar APBN digunakan untuk pendidikan anak negeri ini, namun mengapa masih banyak anak bangsa ini tidak dapat mengenyam pendidikan? Untuk siapakah anggaran tersebut?
Menurut saya pemerintah perlu membangun lebih banyak lagi SD, SMP, SMA dan universitas yang status kepemilikannya adalah milik Negara, agar anak desa terjamin dibidang pendidikan. Terutama penambahan gedung sekolah di setiap kecamatan bila perlu setiap desa. Berharap anak Indonesia menjadi agen perubahan yang berkualitas, dan disegani oleh bangsa asing, dapat mengelola kekayaan alam negeri sendiri dan tidak terus menerus mengandalkan bantuan dari Negara asing.

No comments:

Post a Comment